GAMBARAN PROFIL ASAM AMINO DALAM FORMULASI PAKAN IKAN PADA BERBAGAI RASIO TEPUNG MAGGOT DAN TEPUNG CACING TANAH
Dapat diunduh pada:
http://iktiologi-indonesia.org/wp-content/uploads/2018/01/15-Nina-Meilisza.pdf
GAMBARAN
PROFIL ASAM AMINO DALAM FORMULASI PAKAN IKAN PADA BERBAGAI RASIO TEPUNG MAGGOT
DAN TEPUNG CACING TANAH
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
Email: sirunina@yahoo.com
ABSTRAK
Asam amino merupakan
komponen utama protein yang memiliki peran penting dalam pakan untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Cacing tanah telah lama diketahui
sebagai salah satu pakan sumber asam protein yang dapat memberikan keragaan
produksi yang baik pada induk ikan, sedangkan masih banyak jenis pakan alami
lain yang juga dianggap potensial antara lain maggot. Campuran penggunaan tepung maggot dan tepung
cacing tanah dalam pakan diduga meningkatkan keragaan produksi pada induk ikan
hias namun rasio yang tepat diantara keduanya belum dapat ditentukan. Formulasi
pakan ikan dengan rasio tepung maggot (TM) dan tepung cacing tanah (TCT)
diujicobakan berdasarkan beberapa rasio yaitu A (0% TM dan 100% TCT); B (25% TM
dan 75% TCT); C (50% TM dan 50% TCT); D (75% TM dan 25% TCT); dan E (100% TM
dan 0% TCT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
asam amino pada perlakuan rasio 100% TCT (perlakuan A) dan 100% TM (E) selalu
bergantian menempati posisi tertinggi sedangkan kombinasi rasio 50% TCT dan 50%
TM (C) umumnya selalu berada pada posisi terendah. Hal ini mengindikasikan
bahwa profil asam amino dari kombinasi dua jenis sumber pakan alami yang
berbeda tidak menghasilkan keseimbangan namun justru mengurangi nilai asam
amino yang dikandungnya.
Kata kunci:
profil, asam lemak, tepung maggot, tepung cacing tanah, reproduksi ikan
PENDAHULUAN
Protein adalah
sumber nutrisi utama yang dibutuhkan dalam pakan baik kualitas maupun
kuantitasnya, protein berperan dalam pembentukan material untuk pertumbuhan
makhluk hidup, dan juga penting untuk memproduksi enzim dan bahan-bahan lainnya
(Steffens, 1989). Protein akan terus menerus disintesis dan didegradasi dalam
tubuh ikan. Suplai makanan dibutuhkan selama hidup dalam bentuk asam amino dan
nitrogen non spesifik untuk pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan (Robinson &
Li, 2007). Kebutuhan ikan terhadap protein tergantung pada jenis ikan, ukuran
ikan, bahan pakan, kualitas protein dan lingkungan (NRC, 1983).
Beberapa
penelitian juga menunjukkan tingkat protein dalam pakan sebesar 30% merupakan
yang optimal pada ikan major carp
Rohu (Labeo rohita), dan maskoki (Carassius auratus) (Singh et al., 2006; Sales & Janssens,
2003). Kebutuhan protein pada jenis lele juga hampir sama yaitu berkisar 32-35%
(Robinson & Li, 2007), begitu pada ikan golden
shiners pada pemeliharaan akuarium membutuhkan sekitar 29% protein dan
dalam kolam 31% protein dalam pakan (SRAC, 1998).
Kualitas protein terkait
dengan profil asam amino yang dikandungnya. Klasifikasi asam amino berdasarkan
kemampuan tubuh untuk menyintesis dan kebutuhan metaboliknya. Klasifikasi ini
dikenal dengan asam amino esensial dan non esensial. Sebagian besar hewan termasuk ikan membutuhkan
10 asam amino yaitu arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin,
fenil alanine, treonin, triptopan dan valin (NRC, 1993). Kebutuhan asam amino
esensial pada ikan hias seperti ikan maskoki berkisar 3,4% sampai 11,8% (Fiogbe
& Kestemont, 1995) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan konsumsi seperti
sidat Jepang (Anguillajaponica), ikan mas (Cyprinus carpio), ikan
lele (Ictalurus punctatus) dan salmon (Oncorhynchus tshawytscha)
yang hanya berkisar 0,5% sampai 6,0% (NRC, 1993).
Kualitas sumber bahan atau
material dalam pakan sangat mempengaruhi keragaan pertumbuhan ikan hias. Pakan
buatan banyak direkomendasikan untuk mengatasi ketergantungan dan permasalahan
pakan alami, namun kendala kemudian terjadi karena bahan baku pakan ikan
seperti tepung ikan dan bahan lainnya berkompetisi dengan kebutuhan pangan
manusia dan pakan hewan lainnya. FAO (2004) mencatat produksi akuakultur sejak
tahun 1984 hingga tahun 2000 mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan tepung
ikan sebagai sumber protein penting dalam pakan ikan mengalami fase stagnan
sejak tahun 90-an.
Sumber protein maggot
sebagai substitusi dan atau pengganti tepung ikan telah dikembangkan di Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias. Maggot adalah larva serangga Hermetia illucens (Diptera, family:
Stratiomydae) atau black soldier
yang dihasilkan melalui proses biokonversi bungkil kelapa sawit (Hem et al., 2008 a,b). Biokonversi juga
dapat bersinergi dengan masalah lingkungan hidup yaitu pengelolaan
limbah-limbah organik menjadi produk yang dapat dimanfaatkan (Fahmi et al., 2007)
Maggot sebagai
pakan ikan hias telah diujicobakan dalam bentuk hidup namun belum pernah
diujicobakan dalam bentuk tepung sebagai bahan baku utama dalam pakan ikan hias.
Penelitian Rachmawati (2010) menyebutkan bahwa nilai nutrisi maggot usia 10
hingga 25 hari pasca menetas dengan media bungkil kelapa sawit memiliki kandungan
protein kasar 42-46% dan lemak kasar 15-28%. Nilai nutrisi tersebut
mengindikasikan bahwa maggot sangat potensial dan dapat digunakan sebagai
sumber protein alternatif pengganti tepung ikan dalam pakan. Upaya substitusi
ataupun penggantian tepung ikan dengan maggot sebagai sumber protein utama
dalam pakan dimana bentuk atau struktur maggot yang dijadikan tepung akan
memudahkan penyediaan, penyiapan, penyimpanan, serta pemrosesan pakan.
Cacing tanah
sebagai pakan alami sering digunakan sebagai pakan dalam bentuk segar dan
jarang digunakan dalam bentuk tepung dalam pakan. Kandungan nutrisi cacing
tanah adalah sekitar 65% protein dan 10% lemak (Stafford & Tacon, 1984).
Cacing tanah ini sering dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan
kemampuan reproduksi ikan. Kombinasi antara tepung cacing tanah dan tepung
maggot diharapkan memberikan profil asam amino yang seimbang antara keduanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil asam amino pada kombinasi
rasio tepung cacing tanah dan maggot dalam
pakan ikan hias.
BAHAN DAN METODE
Formulasi
pakan ikan dengan rasio tepung maggot (TM) dan tepung cacing tanah (TCT)
diujicobakan berdasarkan beberapa rasio yaitu A (0% TM dan 100% TCT); B (25% TM
dan 75% TCT); C (50% TM dan 50% TCT); D (75% TM dan 25% TCT); dan E (100% TM
dan 0% TCT). Nilai nutrisi pakan
buatan yang diujicobakan untuk masing-masing perlakuan sesuai dengan hasil
analisa proksimat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai nutrisi pakan pada berbagai rasio tepung maggot dan tepung cacing tanah.
Table 1. Nutrition value of feed on the various treatments maggot meal and earthworm meal ratio.
Nilai
nutrisi (g/kg
kadar kering) (g/kg dry matter) |
Perlakuan rasio tepung maggot dan
tepung cacing tanah |
||||
A (0%TM:100%TCT) |
B (25%TM:75%TCT) |
C (50%TM:50%TCT) |
D (75%TM:25%TCT) |
E (100%TM:0%TCT) |
|
Kadar air |
44,0 |
22,3 |
89,5 |
85,1 |
83,6 |
Protein |
357,4 |
373,8 |
356,8 |
364,9 |
387,6 |
Lemak |
120,2 |
119,9 |
157,1 |
178,5 |
182,5 |
Abu |
112,6 |
150,2 |
180,0 |
196,1 |
233,9 |
Serat
kasar |
122,4 |
154,0 |
154,7 |
119,9 |
87,2 |
Bahan
Ekstrak Tanpa Nitrogen |
287,4 |
202,1 |
151,4 |
140,7 |
108,8 |
Energi kasar
(MJkg-1) |
18,13 |
17,03 |
17,23 |
18,08 |
18,23 |
Rasio protein
energi Protein energy ratio |
19,71 |
21,94 |
20,71 |
20,18 |
21,26 |
Pakan
perlakuan dianalisis asam aminonya dengan menggunakan metode Gas Chromatography (GC) dalam % (g/g)
metode Soxhlet (gravimetri). Data profil asam amino kemudian dibandingkan antar
perlakuan dan disimpulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
analisa proksimat untuk mengetahui nilai nutrisi pakan perlakuan menunjukkan
bahwa kandungan protein dan lemak (%) secara berturut-turut dari perlakuan A
hingga E adalah 35,74 dan 12,02; 37,38 dan 11,99; 35,68 dan 15,71; 36,49 dan
17,85; serta 38,76 dan 18,25 sedangkan rasio protein energinya (g/MJkg-1)
adalah 19,71; 21,94; 20,71; 20,18; dan 21,36 (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan
bahwa tepung cacing tanah memiliki kandungan protein dalam bahan kering yang
lebih rendah dibandingkan maggot. Kombinasi tepung cacing tanah dan tepung
maggot dengan proporsi 50%:50% menunjukkan tingkat protein terendah.
Keberadaan
berbagai perlakuan tingkat protein digunakan untuk mengetahui tingkat protein
terbaik melalui pendekatan hasil penelitian yang menyarankan bahwa ikan-ikan
kecil seperti benih ikan rainbow kurumoi ini membutuhkan tingkat protein yang
lebih tinggi dibandingkan ikan yang lebih besar karena metabolisme dan laju
pertumbuhannya yang juga lebih tinggi (Stickney & Lovell, 1977). Pernyataan Robinson dan Li (2007) tentang beberapa
faktor yang mempengaruhi persyaratan protein pakan seperti ukuran ikan, suhu
air, pemberian pakan, jumlah energi non protein dalam pakan, kualitas protein,
ketersediaan pakan alami, dan praktek manajemen pakan turut menjadi
pertimbangan dalam penelitian ini.
Pendekatan utama
pada protein dalam hal ini asam amino karena protein digunakan untuk
pertumbuhan maupun pemeliharaan tubuh sehingga secara alami semua energi yang
digunakan oleh ikan berasal dari protein (Hepher & Pruginin, 1981).
Meskipun protein dalam pakan dapat diperoleh dari berbagai sumber namun akan
berbeda kuantitas serta kualitasnya.
Penelitian
pada ikan hias yang menggunakan sumber protein tepung ikan dan kasein
menyebutkan kebutuhan protein sebesar 30-40% untuk ikan guppy P. Reticulate ukuran 0,10 g dengan energi 13,10 ME, protein 29% pada ikan maskoki C. auratus ukuran 0,20 g dengan energi
11,72 DE dan protein 53% pada ukuran 0,008 g dengan energi 20,3 GE, serta
protein 44,9-50,1% pada ikan discus S.
aequifasciata ukuran 4,45-4,65 g dengan energi 21,65 GE (Shim and Chua, 1986; Lochman and Phillips, 1994; Fiogbe and Kestemont, 1995; Chong et al., 2000). Penelitian lainnya
merekomendasikan kebutuhan protein pada ikan hias cichlid kepala merah C. synspilum sebesar 40,8% dengan energi
1,55 DE bersumber protein tepung ikan sedangkan pada ikan hias barbus Barbodes altus ukuran 0,81 g dengan
energi 20,38 GE dan sumber protein kasein adalah 41,7% (Olvera-novoa et al., 1996; Elangovan and Shim, 1997).
Kuantitas protein
terukur dari nilai nitrogen yang dihasilkan melalui pengukuran analisis
proksimat sedangkan kualitas protein umumnya diukur berdasarkan profil asam
amino yang dikandungnya. Asam amino pada hewan termasuk didalamnya ikan berada
dalam bentuk bebas atau terkait dengan protein (terhubung dalam rantai
peptida). Asam amino bebas memiliki tiga bentuk asal dimana produk protein
pakan terhidrolisis dari hasil penyerapan usus, sintesis de novo dan interkonversi serta hidrolisis akhir dari protein
tubuh. Asam amino juga dapat digunakan untuk sintesis protein tubuh atau
komponen nitrogen lain (asam nukleat, amina, peptida, hormon, dan sebagainya),
memberikan sumber karbon untuk metabolisme menengah atau menjadi teroksidasi
untuk memberi energi (Guillaume et al.,
2001).
Gambar 3 terlihat
ada sembilan profil asam amino esensial dari sepuluh yang dipersyaratkan
terdapat dalam kelima jenis pakan yaitu arginin, histidin, isoleusin, leusin,
lisin, threonin, valine, metionin, dan fenilalanin. Asam amino semi esensial
dan non esensial juga terdapat didalam kelima jenis pakan tersebut yaitu
alanin, serin, asam glutamat, asam aspartat, glisin dan tirosin. Profil asam
amino tertinggi adalah àsam glutamat kemudian leusin, valin, arginin, sedangkan
lisin yang umumnya menjadi faktor pembatas asam amino dalam protein memiliki
nilai yang cukup rendah. Lisin adalah satu dari sepuluh asam amino esensial
yang dapat digunakan sebagai referensi asam amino. Ada beberapa alasan untuk
memilih lisin sebagai acuan asam amino. Pertama, fungsi besar lisin dalam tubuh
hewan adalah mendeposisikan jaringan protein, karena kebutuhannya tidak
dipengaruhi oleh peran metabolik lainnya. Kedua, tergantung pada spesies ikan
dan tipe bahan baku, lisin biasanya memiliki peran utama dalam membatasi asam
amino karena diketahui bahwa kebutuhan akan lisin jauh lebih besar dibandingkan
asam amino lain (Miles & Chapman, 2007).
Penelitian pada
ikan hias goldfish atau mas koki (C. auratus) diketahui kebutuhan lisin (%
dalam protein) sekitar 11,8 dan pada ikan tilapia (Seratherodon mosambicus) sekitar 3,8, african catfish 5,7; channel
catfish 5,0-5,1; sedangkan benih salmon
2,0 (Mertz, 1969; Harding et al., 1977;
Robinson et al., 1981; Jauncey,
1983; Fiogbe & Kestemont 1995;
Fagbenro et al., 1999). Profil lisin
pada kelima jenis pakan dalam penelitian ini menunjukkan nilai kurang 3,0
diduga karena bahan baku utama dalam pakan adalah tepung maggot dan hanya
sedikit tepung ikan dan kasein sehingga meskipun nilai lisin sangat rendah, hal
tersebut dianggap masih berada dalam batas toleransi seperti jenis ikan
lainnya.
Gambar 1. Profil asam amino pada berbagai rasio tepung
maggot dan tepung cacing tanah.
Figure
1. Amino acid profile on various
treatments of maggot meal and earthworm
meal ratio.
Profil asam amino
pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa asam glutamat, asam aspartat, alanin,
leusin, dan valin secara berturut-turut adalah asam amino tertinggi dari kelima
belas asam amino yang terdeteksi dalam pakan menggunakan metode kromatografi
cair performansi tinggi. Nilai asam amino pada perlakuan rasio 100% TCT
(perlakuan A) dan 100% TM (E) selalu bergantian menempati posisi tertinggi
sedangkan kombinasi rasio 50% TCT dan 50% TM (C) umumnya selalu berada pada
posisi terendah (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa profil asam amino
dari kombinasi dua jenis sumber pakan alami yang berbeda tidak menghasilkan
keseimbangan namun justru mengurangi nilai asam amino yang dikandungnya.
Asam amino lainnya yang
terdeteksi pada kelima jenis pakan tersebut adalah asam glutamat. Asam glutamat
berfungsi sebagai sumber energi untuk otak dan banyak ditemukan dalam serum,
otot, dan cairan otak, akan tetapi 60% ditemukan di tubuh dalam bentuk asam
amino bebas (Greenwell, 1999). Asam Glutamat adalah satu dari 20 asam amino
yang memiliki kode pada kode genetik standar, rantai sampingnya adalah suatu
amida, dibuat dengan mengganti rantai samping hidroksil asam glutamat dengan
gugus fungsional amina.
Cowey dan Tacon
(1983) menyarankan bahwa kebutuhan asam amino untuk ikan sangat diperlukan dan
seharusnya dihubungkan atau bahkan diatur oleh pola keberadaan asam amino yang
terdapat pada jaringan otot. Ketidakseimbangan profil asam amino dalam pakan
dapat menurunkan asupan makanan dan mengurangi efisiensi dari pemanfaatan asam
amino esensial. Harper et al. (1964)
menyatakan bahwa asam amino plasma merangsang sintesis atau menghalangi
kerusakan protein dalam hati yang mengindikasikan penurunan suplai yang
membatasi asam amino esensial dalam jaringan. Konsekuensinya, pola asam amino
bebas dari plasma dan jaringan menjadi tidak seimbang yang terdeteksi dari
sistem yang mengatur nafsu makan dalam otak. Sebagai sebuah konsekuensi, asupan
makanan harus dikurangi dan pengurangan ini dalam asupan makanan adalah asal
pengaruh penurunan dari ketidakseimbangan asam amino.
Tabel
2. Profil asam amino lengkap pada berbagai perlakuan rasio tepung maggot dan
tepung cacing tanah.
Table 2. Profile of complete amino acids on the
various treatments of maggot meal and earthworm meal ratio.
Asam amino Amino acid |
Kadar
kering Wet basis |
Metode Method |
Perlakuan rasio tepung maggot dan
tepung cacing tanah Treatments of maggot meal and
earthworm meal ratio |
||||
A (0%TM:100%TCT) |
B (25%TM:75%TCT) |
C (50%TM:50%TCT) |
D (75%TM:25%TCT) |
E (100%TM:0%TCT) |
|||
Aspartic
acid |
% w/w |
HPLC |
3,69 |
2,65 |
2,32 |
2,69 |
2,59 |
Glutamic
acid |
% w/w |
HPLC |
4,84 |
4,14 |
4,02 |
4,53 |
4,64 |
Serine |
% w/w |
HPLC |
1,66 |
1,16 |
0,86 |
0,98 |
0,82 |
Histidine |
% w/w |
HPLC |
1,09 |
0,65 |
0,53 |
0,65 |
0,61 |
Glycine |
% w/w |
HPLC |
0,97 |
1,61 |
1,35 |
1,54 |
1,39 |
Threonine |
% w/w |
HPLC |
1,33 |
1,08 |
0,95 |
1,07 |
0,98 |
Arginine |
% w/w |
HPLC |
0,36 |
1,24 |
0,98 |
1,13 |
0,98 |
Alanine |
% w/w |
HPLC |
3,33 |
2,68 |
2,5 |
2,76 |
2,76 |
Tyrosine |
% w/w |
HPLC |
2,65 |
1,51 |
0,91 |
1,05 |
0,76 |
Methionine |
% w/w |
HPLC |
0,83 |
0,57 |
0,52 |
0,64 |
0,64 |
Valine |
% w/w |
HPLC |
2,75 |
2,2 |
2,1 |
2,41 |
2,44 |
Phenylalanine |
% w/w |
HPLC |
1,95 |
1,5 |
1,46 |
1,87 |
1,88 |
I-leucine |
% w/w |
HPLC |
2,01 |
1,67 |
1,65 |
1,95 |
2,07 |
Leucine |
% w/w |
HPLC |
2,96 |
2,49 |
2,49 |
2,95 |
3,17 |
Lysine |
% w/w |
HPLC |
2,58 |
1,65 |
1,41 |
1,8 |
1,69 |
Meski belum
diketahui peranan hubungan asam amino terhadap reproduksi ataupun hubungan asam
amino terhadap efektifitas asam lemak namun berdasarkan studi kasus pada Gilthead seabream yang diberi pakan dengan asam amino esensial yang
rendah menghasilkan peningkatan jumlah titik-titik kecil lemak telur
(Fernández-Palacios et al., 1997) seperti juga
ditemukan pada seabream
(Watanabe et al., 1984).
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
asam amino pada perlakuan rasio 100% TCT (perlakuan A) dan 100% TM (E) selalu
bergantian menempati posisi tertinggi sedangkan kombinasi rasio 50% TCT dan 50%
TM (C) umumnya selalu berada pada posisi terendah. Hal ini mengindikasikan
bahwa profil asam amino dari kombinasi dua jenis sumber pakan alami yang
berbeda tidak menghasilkan keseimbangan namun justru mengurangi nilai asam
amino yang dikandungnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chong,
A.S.C., R.,Hashim.,& A.B.Ali. 2000. Dietary protein requirements for discus
(Symphysodon spp.).Aquac.Nutr.6: 275–278.
Cowey,
C.B, & A.G.J. Tacon. 1983. Fish nutrition-relevance to invertebrates.
In:Pruder, G.D., C.J.Langdon and D.E.Conklin (eds) Proceedings of The Second International Conference on Aquaculture
Nutrition: Biochemical and Physiological Approaches to Shellfish Nutrition.
Lousiana State University, Division of Continuing Education Baton Rouge, p
13-30.
Elangovan,A.,
& K.F Shim. 1997. Growth response of juvenile Barbodes altus fed isocaloric diets with variable protein levels. Aquaculture 158: 321–329.
Fahmi,
M.R., S. Hem., & I.W. Subamia. 2007. Potensi maggot sebagai sumber protein
alternatif. Prosiding Seminar Nasional
Perikanan II. Universitas Gadjah Mada, 5 hlm.
Fagbenro,
O.A., L.C Nwanna, & O.T. Adebago. 1999. Dietary arginine requirement of the
African catfish, Clarias gariepinus. Journal
of Applied Aquaculture 9: 59-64.
Fernandez-Palacios, H., M.S.
Izquierdo., L. Robaina., A. Valencia., M. Salhi., J. Vergara. 1995. Effect of
n-3 HUFA level in broodstock diets on egg quality of gilthead seabream Sparus
aurata L.. Aquaculture 132: 325–337.
Fiogbé,E.D.,
& Kestemont,P.,1995. An assessment of the protein and amino acid
requirement in goldfish (Carassius auratus)
larvae. J.Appl.Ich-thyol.11: 282–289.
Greenwell I. 1999. http://www.lef.orp/magazine/mag99/sep99-repo3.html.(13 Februari
2007).
Guillaume,
J., S. Kaushik, P. Bergot, & R. Metailler. 2001. Nutrition and Feeding of Fish and Crustaceans. UK: Praxis
Publishing. 408 p.
Harding,
D.E., O.W. Allen Jr., & R.P. Wilson. 1977. Sulfur amino acid requirement of
channel catfish: L-methionine and L-cystine. Journal of Nutrition 107: 2031-2035.
Harper
A., E. Leung, P. Yoshida, & Q.R. Rogers. 1964. Some new thought on amino
acid balance. Fed. Proc. 23 :
1087-1096.
Hem,
S., & E. Devic. 2011. Bioconversion
of Organic Wastes Other than PKM (Palm Kernel Meal), in Indonesia. In: Maggot-Bioconversion
research Program in Indonesia, Concept of New Food Resources Result and
applications 2005-2011. Project Fish-Diva, Final Report Saurin Hem, November
2011: 42 p.
Hem,
S., S. Toure., C. Sagbla, & M. Legendre. 2008a. Bioconversion of palm
kernel meal for aquaculture: Experiences from the forest region (Republic of
Guinea). African Journal of
Biotechnology, 7(8): 1192-1198.
Hem,
S., M.R. Fahmi, Chumaidi, Maskur, A. Hadadi, Supriyadi, Ediwarman, M. Larue,
& L. Pouyoud. 2008b. Valorization of Palm Kernel Meal via bioconversion:
Indonesia’s initiative to address aquafeeds shortage. Fish for the people vol. 6 (2), 2008. SEAFDEC. Bangkok Thailand, 42
pp.
Hepher,
W. & Y. Pruginin. 1981. Commercial
Fish Farming with Special Reference to Fish Culture in Israel. John Willey
and Sons. New York. ix+261 pp.
Jauncey,K.,1983.
The effects of varying protein levels on the growth, food conversion, protein utilization and body
composition of juvenile tilapias (Sarotherondon
mosambicus). Aquaculture 27:
43–54.
Lochmann,R.T.,
& H. Phillips. 1994. Dietary protein requirement of juvenile golden shiners (Notemigonus crysoleucas) and goldfish (Carassius auratus) in aquaria. Aquaculture
128: 277–285.
Mertz,
E.T. 1969. Amino acid and protein requirements of fish. In: Neuhas, O.W., and
Halver, J.E.: Fish in Research. Academic Press, New York, London: 233-244.
Miles,
R.D., & F.A. Chapman. 2007. The concept of ideal protein in formulation of
aquaculture feeds. Departement of Fisheries and Aquatic Sciences, University of
Florida, USA. FA144, 3 p.
NRC
(National Research Council). 1983. Nutrient
Requirements of Warm Water Fishes and Shell Fshes. National Academy Press,
Washington, DC., USA reviseded, 274 p.
NRC
(National Research Council). 1993. Nutrient
Requirements of Fish. National Academy Press, Washington, DC, USA, 114 p.
Olvera-Novoa,M.A.,
E. Gasca-Leyva., & C.A Martinez-Palacios. 1996. The dietary protein
requirements of Cichlasoma synspilum
Hubbs, 1935 (Pisces:Cichlidae) fry. Aquac.Res.
27:167–173.
Rachmawati.
2010. Sejarah Kehidupan Hermetia illucens
(Linnaeus) (Diptera: Stratiomydae) pada Bungkil Kelapa Sawit. Tesis Sekolah
Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 74 hal.
Robinson,
E.H., & M.H.Li. 2007. Catfish protein nutrition: revised. Bulletin 1159,
April 2007: 22 p.
Robinson,
E.H., R.P. Wilson, & W.E. Poe. 1981. Arginine requirementand apparent
absence of lysine-arginine antagonist in fingerling channel catfish. J. Nutrition 111: 46-52.
Sales
J., & G.P.J.Janssens. 2003 . Nutrient requirements of ornamental fish. Aquat.Living Resour. 16: 533–540.
Shim,K.F.,
& Y.L. Chua. 1986. Some studies on the protein requirement of the guppy, Poecilia reticulata (Peters). J.Aquar.Aquat.Sci. 4: 79–84.
Singh,
P.K., S.R. Gaur & M.S. Chari. 2006. Effect of Varying Protein Levels on the
Growth of Indian Major Carp Rohu, Labeo
rohita (Hamilton). International
Journal of Zoological Research 2 (2): 186-191.
SRAC
(Southern Regional Aquaculture Centre). 1998.
Dietary Protein and Lipid Requirements of Golden Shiners and Goldfish. Publication No.124, March 1998, 2p.
Stafford, E. A. & A. G.
J. Tacon. 1984. Nutritive Value of the Earthworm, Dendrodrilus
subrubicundus, Grown on Domestic Sewage, in Trout Diets. Agricultural Wastes 9 (1984) 249-266.
Steffens,
W. 1989. Principles of fish nutrition.
Ellis Horwood Limited Publishers. Halsted Press: a division of John Willey
& Sons. England, 384 p.
Watanabe, T., T. Arakawa., C.
Kitajima., & S. Fujita. 1984. Effect of nutritional quality of broodstock
diets on reproduction of red seabream. Nippon Suisan Gakkaishi 503: 495–501.
Komentar
Posting Komentar